Pagi adalah bagian dari waktu-waktu Allah yang terus berputar. Ia
juga ungkapan yang sangat lekat dengan makna kesegaran, keceriaan,
semangat, dan hidup baru. Begitu banyak makna positif yang memberi
spirit dan optimisme dalam hidup, yang datang m-nyertai pagi. Mungkin
masih banyak lagi hikmah dan keistimewaan di balik pujian Allah
terhadapnya,
“Dan demi Subuh apabila fajar-nya mulai menyingsing.” (QS At Takwir: 18), yang mungkin belum dapat kita singkap karena keterbatasan ilmu kita.
Bertemu pagi adalah sebuah keniscayaan. Tetapi mengambil manfaat dari
keistimewaanya adalah sesuatu yang harus diupayakan. Jalannya hanya
satu, bangun lebih pagi. Lalu mengintip apa saja kebaikan-kebaikan yang
dapat kita petik di pagi itu.
Karena Suatu Pagi Bisa Merubah Hidupmu
Waktu adalah wadah pembentukan. Di sanalah garis edar hidup kita,
tumbuh dan menjadi dewasa, dari lahir hingga kembali ke hadirat-Nya.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
“Waktu memiliki tiga makna dan
dilandaskan pada tiga derajat. Di antara makna-makna itu adalah saat
mampu dan benar, karena melihat cahaya karunia yang ditarik kebersihan
harapan, atau karena ada perlindungan yang ditarik kebenaran ketakutan,
atau karena kobaran rindu yang ditarik cinta.” (Madarijus Salikin)
Satu di antara bagian-bagian waktu yang menghimpun makna-makna itu,
yang memiliki urgensi pembentukan adalah pagi. Pagi adalah simbol
permulaan dan perubahan, kepada dan terhadap apa saja, termasuk
babak-babak kehidupan kita.
Kisah seorang wanita Nasrani yang bersahabat dan hidup serumah dengan
seorang wanita Muslimah, adalah contoh perubahan yang di bawa oleh
pagi. Sahabat Muslimah si wanita tadi, sering terbangun di penghujung
malam untuk melaksanakan qiyamul lail, bermunajat dan berdoa kepada
Allah SWT. Terkadang, selesai berdoa ia teruskan lagi dengan tilawah Al
Qur’an hingga menjelang shalat Shubuh.
Awalnya, si wanita nashrani sering merasa terganggu dengan suara
temannya yang kerap menangis tersedu-sedu dalam shalat malamnya, atau
saat melantunkan ayat-ayat suci Al Qur’an, yang begitu asing di
telinganya. Suara “berisik” itulah yang sering memangkas jatah tidurnya.
Tetapi lama-kelamaan, dalam diamnya ia mulai menyimpan rasa cemburu
dan kagum kepada sahabatnya ini. Betapa tidak, sebagai seorang yang
beragama ia merasa tidak begitu akrab dengan tuhannya. Jauh berbeda
dengan sahabatnya yang selalu rajin menyapa Sang Penciptanya di kala
orang-orang masih terlelap dalam tidurnya. Ia kagum karena sahabatnya
begitu mudah terbangun di waktu pagi dan menyelesaikan sebagian
tugas-tugasnya, sementara dia sendiri terkadang baru beranjak dari kasur
empuknya saat matahari sudah meninggi.
Di sinilah awal mula hidayah itu datang, di gelapan subuh, di tengah
dinginnya udara pagi, rasa cemburunya menyeruak. Si wanita Nasrani mulai
tertarik, menanti lantunan kalimat-kalimat “asing” dari mulut
sahabatnya. Karena seperti ada ketenteraman batin yang datang
bersamanya.
Suatu ketika, sahabatnya sedang tidak di rumah. Saat itu rasa
penasarannya menggodanya untuk mengetahui isi Al Qur’an. Ia lalu
beranikan diri membuka lembaran-lembaran Al Qur’an, bacaan favorit
sahabatnya itu. Ketika ia buka, yang tampak hanya garis-garis hitam yang
entah apa arti dan maksudnya. Tetapi ketika ia membaca terjemahannya,
di situlah ia menemukan petunjuk yang luar biasa. Ayat-ayat dalam surat
Al Ikhlas seakan menghentak batinnya untuk mengakui kebenaran konsep
ketuhanan yang diajarkan kitab di tangannya.
Di suatu pagi berikutnya, di saat sahabatnya baru saja usai
menjalankan shalat Shubuh-nya, si wanita Nashrani datang menghampiri. la
duduk bersimpuh di dekat sahabatnya dan mendekapnya, seraya memohon
agar ditun-tun untuk mengucapkan syahadat. Sahabatnya kaget bukan
kepalang. Begitu cepat dan begitu mudah hidayah itu datang. Suasana
menjelang pagi telah merubah semuanya.
Karena Kehidupan Pagi adalah Ciri Orang-Orang Shalih
Tidur, bagi manusia adalah sifat kesempurnaan. Orang yang tidak bisa
tidur berarti memiliki kekurangan; kesehatan fisiknya sedang terganggu.
Tetapi, memperpanjang jatah tidur juga bukan ciri manusia yang baik.
Tidur berlama-lama akan membuat badan terasa berat, membuang waktu
secara percuma, membentuk jiwa yang lalai dan malas, serta banyak hal
negatif lainnya. Karena itu, hidup ini perlu keseimbangan.
Manusia terbaik di bumi ini adalah mereka yang beriman kepada Allah.
Mereka yang mendisiplinkan waktunya, mengatur antara hak dan
kewajibannya. Ketika malam tiba, mereka bersegera tidur supaya di
penghujung malam bisa terbangun dan bercengkerama dengan keindahan dan
kedamaian pagi.
Muawiyah bin Qurrah menirukan nasehat bapaknya ketika mereka sekeluarga telah melaksanakan shala Isya,
“Wahai anak-anakku, tidurlah sekarang. Semoga Allah menganugerahkan kepada kalian kebaikan malam ini.”
Ada banyak hal yang dilakukan orang-orang shalih di kala pagi.
Setelah mereka mendirikan shalat malam, mereka duduk berdoa dan
bermunajat “menagih” janji-janji Allah, membaca dan mentadabburi Al
Qur’an.
Fudhail bin Iyad pernah menceritakan,
“Aku menjumpai suatu kaum
yang malu kepada Allah di kegelapan malam karena kelamaan tidur.
Pasalnya, mereka terbiasa hanya rebahan dan jika terjaga mereka
berkata, “Ini bukanlah untukmu, maka bangkitlah untuk mengambil bagianmu
di akhirat.”"
Tidur bagi mereka hanyalah sisa waktu yang sangat dibatasi dan
melakukan amal-amal ketaatan di pagi hari adalah bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan mereka. Kehilangan pagi, bagi mereka adalah
kerugian yang bisa memunculkan banyak sekali dugaan kebu-rukan.
Sampai-sampai Ibnu Umar mengatakan,
“Jika kami kehilangan seseorang pada shalat Shubuh dan Isya (di masjid), kami mempunyai prasangka buruk kepadanya.”
Karena Ilmu-Ilmu Allah Turun pada Waktu Pagi
Setiap fase waktu, antara siang dan malam yang telah dibentangkan
Allah SWT untuk kita, memiliki klasifikasi dan keistimewaan yang tak
tergantikan dengan fase-fase waktu yang lain. Antara mencari nafkah,
ibadah, belajar, dan beristirahat semua telah diatur oleh Allah. Hanya
saja, kita terkadang tidak memahami hikmah di balik ketentuan-ketentuan
itu, atau bahkan sengaja tidak memperdulikannya dengan bermacam alasan,
sehingga seringkali kita melakukan sesuatu yang tidak medatangkan hasil
maksimal, yang tentu saja hal itu akan merugikan diri kita sendiri.
Rasulullah saw yang selalu mengajak umatnya untuk bangun sebelum
subuh, melaksanakan shalat sunnah dan shalat Shubuh berjamaah, bukan
tanpa alasan. Di sana, di balik heningnya suasana pagi, ada banyak
hikmah yg mendalam. Diantaranya; berlimpahnya pahala dari Allah,
kesegaran udara subuh yang menyegarkan fisik, konsentrasi pikiran dan
daya ingat yang kuat untuk menyambut datangnya hikmah dan ilmu-ilmu
Allah SWT.
Konsentrasi dan kemampuan memahami di waktu subuh yang tenang, adalah
suasana yang tidak pernah dilewatkan oleh para ulama. Mereka mendalami
suatu ilmu, menggali dan merenungi hikmah dari banyak peristiwa yang
mereka saksikan, sehingga benar-benar paham dan menguasai banyak ilmu.
Ibnu Jarir Ath Thabari, misalnya, seperti diceritakan Al Khatib Al
Baghdadi, selama empat puluh tahun dari usianya yang terakhir, ia mampu
menulis sebanyak empat puluh halaman setiap hari. Yang istimewa dari
prestasi Ibnu Jarir ini, meskipun ia menulis artikelnya selepas zhuhur
hingga waktu ashar tiba. Tetapi, murajaahnya akan ilmu serta ide-ide
yang akan ia tuangkan dalam tulisannya, ia dapatkan di awal-awal subuh,
setelah menanuaikan qiyamul lail.
Salah seorang murid Ibnu Jarir, Abu Bakar Asy Syajari mengisahkan,
“Setelah
selesai sarapan pagi, Ibnu Jarir Ath Thabari tidur sebentar dengan
pakaian berlengan pendek. Setelah bangun, ia mengerjakan shalat Dhuhur.
Lalu menulis hingga waktu Ashar tiba, kemudian keluar untuk shalat
Ashar. Selanjutnya, ia duduk di majelis bersama orang-orang untuk
mengajar sampai datang waktu maghrib. Setelah itu, mengajar fiqh serta
pelajaran-pelajaran lain sampai masuk shalat Isya. Kemudian pulang ke
rumah dan istirahat. Tengah malam ia bangun shalat malam dan menadalami
ilmu-ilmunya.”
Kemuliaan pagi serta mudahnya akal menyerap ilmu di saat itu, pernah pula diingatkan Lukman Al Hakim kepada putranya,
“Jangan
sampai ayam jantan lebih cerdas daripada dirimu. Ia berkokok sebelum
fajar, sementara kamu masih mendengkur tidur hingga matahari terbit.” (Tafsir AlQ urthubi)
Karena Pagi Tidak Berubah, yang Berubah adalah Kita
Pagi seperti tak pernah bosan menyapa kita. Kala kita sakit,
bersedih, berduka, atau sedang bersuka cita, pagi selalu datang dengan
berjuta optimisme dan harapan.
Hingga sekarang mungkin tak terhitung lagi, sudah berapa kali pagi
menyambangi kita. Suasananya tak pernah berubah, pagi yang dulu tetap
pagi yang sekarang, penuh dengan kesejukan dan kesegaran. Tetapi, itulah
karakter waktu. Ia tidak akan pernah berubah kecuali Allah menentukan
takdirnya yang lain, atau masa yang telah ditentukan telah tiba, yang
berarti keberlangsungan dunia ini akan segera berakhir.
Tanpa kita sadari, temyata pagi telah mengantarkan kita pada usia
yang sekarang. Usia yang barangkali tidak lagi bisa dikatakan muda,
karena kekuatan fisik yang dulu kita banggakan kini mulai melemah,
ketampanan dan kecantikan muiai memudar, ketajaman mata mulai berkurang,
rambut mungkin juga sudah mulai berganti warna, dan anak-anak di
sekitar kita pun sudah semakin besar. Itu semua menjadi pertanda bahwa
kita semakin tua, meskipun belum tentu dewasa.
Waktu memang terkadang menggilas kita. Tetapi, tentu karena ulah kita
sendiri yang sering lupa, sering hilang kesadaran, bahwa kita harus
berubah; lebih dewasa, lebih berilmu, lebih beriman, dan lebih dekat
kepada Allah SWT karena kulitas ibadah yang terus mening-kat. Karena
itu, Rasulullah mengingatkan kita,
“Jangan sekali-kali mencela waktu, karena sesungguhnya Allah Azza wa Jalla berfirman, “Akulah waktu itu.”" (HR Ahmad)
Seorang salafu shalih memberi nasehat,
“Beramallah untuk diri
kalian di malam yang gelap gulita ini. Karena, sesungguhnya orang yang
tertipu adalah orang yang tertipu oleh kebaikan siang dan malam. Orang
yang terhalangi adalah orang yang tidak mampu untuk memperoleh kebaikan
yang ada pada keduannya. Ia merupakan jalan kebaikan yang ada pada
keduanya. Ia merupakan jalan kebaikan bagi kaum Muslimin untuk mentaati
Rabbnya, dan bencana bagi mereka yang melalaikan dirinya. Maka,
hidupkanlah diri kalian dengan selalu mengingat Allah.”
Tidak ada jalan lain memang, bahwa kita haru berani melihat pagi.
Karena bisa jadi pagi ini adalah pagi yang terakhir untuk kita, sebelum
sempat memperbaiki diri.
Karena Pagi adalah Sumber Keberkahan
Kesegaran subuh tidak hanya menemani kekhusyukan ibadah kita, atau
mengiringi terkabulnya untaian doa dan munajat kita, atau mengasah
ketajaman akal dan kemam-puan berpikir kita. Tetapi kesegaran subuh juga
membuka pintu-pintu rezki yang telah Allah hamparkan di hari itu.
Karena itu, Islam mengajak kita untuk berlomba menyambut dan mendapatkan
rezki Allah dengan bersegera bangun pagi.
Fatimah ra, putri Rasulullah saw pernah bercerita,
“Ayahku lewat
di sampingku, sedang aku masih berbaring di waktu pagi. Lalu beliau
menggerakkan badanku dengan kakinya dan berkata, “Wahai anakku,
bangunlah, saksikan rezki Tuhanmu dan janganlah kamu termasuk orang yang
lalai karena Allah membagikan rezki kepada hamba-Nya, antara terbi
tfajar dengan terbit matahari.”" (HR Ahmad dan Baihaqi)
Ini pula yang dilakukan Nabi Daud as. Ia membagi waktu hidupnya
sehari untuk urusan dunia dan sehari lagi untuk akhiratnya, dengan
berpuasa dan beribadah. Ketika harus memenuhi urusan dunianya, pagi-pagi
sekali Nabi Daud sudah bangun, ia bersiap, lalu ia berangkat mencari
nafkah. Rasulullah saw memujinya dengan sabdanya,
“Tidaklah
seseorang itu makan sesuatu makanan yang lebih baik daripada hasil
usahanya sendiri dan sesungguhnya Nabi Daud adalah makan dari hasil
usahanya sendiri.”
Keberkahan subuh bukan hanya pada rezki. Rasulullah saw jika ingin
mengirimkan tentaranya ke medan perang, dilepaskannya pada waktu pagi.
Ketika berhijrah ke Madinah pun, beliau berangkat pada waktu pagi.
Shakhar, salah seorang sahabat beliau yang meriwayatkan hadits di
atas, adalah seorang saudagar. Jika dia ingin mengirimkan barang-barang
dagangannya, selalu dia lakukan pada pagi hari, dan itulah puncaknya
Allah memberikan banyak kekayaan kepadanya.
Aisyah ra berkata,
“Rasulullah bersabda, “Berpagi-pagilah mencari
rezeki karena sesungguhnya berpagi-pagi itu membawa berkah dan
menghasilkan kemenangan.”"
Kunci keberkahan dimulai dari membiasakan diri mendirikan shalat
Shubuh berjamaah di masjid. Dan bisa dibayangkan, jika setiap Muslim di
negeri ini melakukan shalat Shubuh berjamaah di masjid dan mereka rajin
melakukan zikir, keberkahan akan muncul di mana-mana. Karena itu,
carilah keberkahan dan kemenangan di waktu pagi, dan hindarilah tidur di
saat itu, karena sebenarnya kebiasaan itu hanya akan menjauhkan kita
dari rezki Allah SWT.
Sumber: Tarbawi Edisi 103 Th. 6/Muharram 1426 H/3 Maret 2005 M hal 11-14